WUJUDUL HILAL
TELAH USANG
![]() |
Prof Dr Thomas Djamaluddin |
Ilmuan
astronomi Indonesia ikut memberikan pemikiran soal perbedaan Idul Fitri
kemarin. Uraian dari Profesor riset astronomi-astrofisika di Lembaga
Penerbangan danAntariksa Nasional (Lapan) ini patut kita jadikan referensi.
Beberapa tahun terkhir, wajah Prof Dr Thomas Djamaluddin sering menghiasi layar televise kita di saat-saat menjelang hari raya. Anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kemenag RI ini banyak dimintai keterangan soal penentuan awal bulan Hijriah secara ilmiah. Sebagai ilmuan astronomi, apa yang diungkapkan selalu up to date dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentang perbedaan Idul Fitri 1432 H lalu, berikut pendapatnya:
Boleh jadi banyak orang tersinggung dengan ungkapan lugas bahwa criteria hisab wujudul hilal itu using dan jadi pemecah belah umat. Tetapi saya tidak menemukan kata-kata yang lebih halus, tetapi tepat maknananya. Saya pun rela disebut "provokator" demi membangunkan kita semua bahwa "ada kerikil tajam" yang selalu mengganjal penyatuan umat.
Mengapa wujudul hilal disebut usang? Ya, sebagai produk sains, suatu teori bisa saja using karena digantikan oleh teori yang lebih baru, yang lebih canggih, dan lebih bermanfaat. Teori "geosentris" yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sekarang dianggap usang, karena sudah banyak teori yang menjelaskan gerak benda-benda langit, antara lain teoro gravitasi.
Ilmu hisab-rukyat (perhitungan dan pengamatan) dalam lingkup ilmu falak (terkait posisi dan gerak benda-benda langit) adalah ilmu multidisiplin yang digunakan untuk membantu pelaksanaan ibadah. Setidaknya ilmu hisab-rukyat gabungan syariah dan astronomi. Syariah membahas asfek dalilnya yang bersumber dari Al-Qur'an, hadits, dan ijtihad ulama. Astronomi memformulasikan tafsiran dalil tersebut dalam rumusan matematis untuk digunakan dalam prakiraan waktu.
Rasullllah SAW menyebut dirinya "ummi" yang tidak pandai baca dan menghitung. Tetapi sesungguhnya pada zaman Rasul sudah diketahui bahwa rata-rata 1 bulan = 29,5 hari, sehingga ada hadits yang bermakna satu bulan kadang 29 dan kadang 30. Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman empiric pengamatan (rukyat) hilal.
Pada zaman sahabat dikembangkan system kalender dengan hisab (perhitungan astronomi) sederhana yang disebut hisab Urfi (periodik) yang jumlah hari tiap bulan berselang seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil 30 hari dan bulan genap 29 hari. Maka ramadlan mestinya selalu 30 hari, tetapi rukyat tetap dilaksanakan untuk mengoreksinya. Dengan perkembangan ilmu hisab/astronomi, hisab urfi mulai ditinggalkan, kecuali oleh kelompok-kelompok kecil yang tak tersentuh perkembangan ilmu hisab, seperti kelompok Naqsabandiyah di Sumatra Barat dan beberapa kelompok di wilayah lain (termasuk di tengah kota Bandung—walau tak terliput media massa).
Dari hisab 'Urfi berkembang hisab Taqribi (pendekatan dengan asumsi sederhana). Misalnya tinggi bulan hanya dihitung berdasarkan umurnya. Kalau umurnya 8 jam, maka tingginya 8:2 = 4 derajat, karena secara rata-rata bulan menjauh dari matahari 12 derajat per 24 jam. Termasuk kesaksian hilal dulu bukan berdasar pada pengukuran tinggi, tetapi hanya dihitung waktunya sejak cahaya "hilal" (bisa jadi bukan hilal) tampak sampai terbenamnya. Hisab Taqribi pun sudah mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok kecil, antara lain kelompok pengamat di Cakung yang dikenal menggunakan hisab taqribi sebagai pemandu rukyatnya.
Dari hisab Taqribi berkembang hisab hakiki (menghitung posisi bulan sebenarnya) dengan criteria sederhana wujudul hilal (asal bulan positif di atas ufuk). Prinsipnya pun sederhana, cukup menghitung saat bulan dan matahari terbenam. Bila bulan lebih lambat terbenam, maka saat itulah dianggap wujud. Sampai tahap ini hisab dan rukyat sering berbeda keputusannya. Hisab wujudul hilal sering lebih dahulu daripada rukyat, karena memang tidak memperhitungkan factor atmosfer. Masyarakat awam (setidaknya di Cirebon, tempat masa kecil saya tahun 1970-an) sedah maklum menyebut Muhammadiyah sering puasa atau lebaran duluan karena merekalah yang mengamalkan hisab wujudul hilal.
Mengapa
kriteria wujul hilal sebagai lompatan pertama hisab hakiki? Dalam sains dikenal
penyederhanaan dalam model perhitungan. Untuk menghitung secara hakiki posisi
bulan dan matahari bukan perkara mudah pada tahun 1970-an. Ahli hisab harus
menghitung secara manual dengan berlembar-lembar kertas dan kadang
berhari-hari. Satu problem biasanya dihitung minimal oleh 2 orang. Kalau
terjadi perbedaan, kedua orang itu harus saling mengoreksi. Tahun 1980-an
kalkulator menjadi alat bantu utama. Kemudian tahun 1990-an computer semakin
mempermudah perhitungan.
Lalu
berkembang hisab hakiki dengan kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa
dirukyat) yang memadukan hisab dan rukyat, sehingga antara kalender dan hasil
hisab diupayakan sama. Itulah konsep penyatuan kalender Islam. Berdasarkan data
rukyat di Indonesia sejak tahun 1960-an, ahli hisab di Indonesia pada awal
1990-an memformulasikan kriteria imkan rukyat: (1) ketinggian hilal minimum 2
derajat, (2) jarak bulan –matahari minimum 3 derajat, dan (3) umur hilal
minimum 8 jam. Kriteria tersebut kemudian diterima di tingkat regional dalam
forum MABIMS (Mentri-mentri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura). Ormas-ormas Islam dalam kelompok Temu Kerja Badan Hisab Rukyat
menyepakati penggunaan kriteria tersebut dalam pembuatan kalender hijriyah di
Indonesia, kecuali Muhammadiyah.
Wakil
Muhammadiyah beralasan tinggi hilal 2 derajat tidak ilmiah. Mengapa tinggi
hilal 2 derajat dianggap tidak ilmiah, tetapi tetap bertahan wujudul hilal yang
artinya tinggi hilal minimum 0 derajat? Saya tidak tahu alas an penolakan yang
sebenarnya. Memang hisab dengan kriteria imkan rukyat akan lebih rumit daripada
hisab wujudul hilal. Factor atmosfer yang menghamburkan cahaya matahari
diperhitungkan. Hilal yang sangat rendah dan sangat tipis tidak mungkin
mengalahkan cahaya senja di ufuk dan cahaya di sekitar matahari. Itulah sebab
perlu ada batas minimum ketinggian bulan dan jarak bulan-matahari.
Kriteria
imkan rukyat terus berkembang. IICP (International Islamic Calender Program) di
Malaysia berupaya mengembankan kriteria astronomis yang kini dikenal dengan kriteria
Ilyas. LAPAN pun berdasarkan data rukyat di Indonesia 1962-1996 mengembangkan
revisi kriteria imkan rukyat MABIMS, yang dikenal sebagai kriteria LAPAN (tahun
2000). Odeh dengan ICOP (International Crescent Observation Program) dengan
menggunakan data internasional yang lebih banyak mengembangkan kriteria yang
kini dikenal kriteria Odeh. Kelompok astronom amatir RHI (Rukyatul HilalIndonesia) yang mengkompilasi data rukyat di Indonesia dan Australia juga
menyusun kriteria imkan rukyat RHI. LAPAN (2010) juga mengusulkan baru
berdasarkan data rukyat dan internasional yang diberi nama Kriteria
Hisab-Rukyat Indonesia.
Kriteria
imkan rukyat yang inilah yang dijadikan dasar penyatuan kalender Hijriyah.
Dengan kalender berdasarkan hisab imkan rukyat, hasil hisab dalam bentuk
kalender diharapkan akan sama dengan hasil hisab. Kalau masih terjadi
perbedaan, penyelesainnya dalam forum siding itsbat. Lalu yang berbeda dengan
Criteria
tersebut nanti bisa dijadikan dasar untuk merevisi criteria imkan rukyat.
Memang begitulah kriteria imkan rukyat. Dinamis dan bisa terus disempurnakan. Kuncinya,
criteria tersebut harus disepakati oleh semua pemangku kepentingan, terutama
Ormas-ormas Islam, MUI, dan Pemerintah.
Dari
kronologis perkembangan pemikiran hisab seperti itu terlihat posisi hisab
wujudul hilal sudah usang dan harus diperbaharui. Hisab wujudul hilal pun
bisa jadi pemecah belah umat, karena hilal dengan ketinggian yang
sangat rendah tidak mungkin teramati. Keputusan pengamal hisab wujdul
hilal pasti akan berbeda dengan keputusan pengamal rukyat. Kebanyakan
orang akan merasakan ketidaknyamanan. Perdebatan akan selalu muncul, yang tidak
mungkin diredam sekedar imbauan "saling menghormati.
Lebih
dari sekadar masalah ketidaknyamanan di masyarakat dan kenyataan umat terpecah
dalam beribadah massal (Ramadlan dan hari raya), dengan adanya perbedaan itu
kita tidak akan pernah punya kalender hijriyah yang tunggal dan mapan. Dengan perbedaan
criteria yang diterapkan oleh Ormas-ormas Islam, kalender Hijriyah dikerdilkan
hanya menjadi kalender Ormas. Kalender Muhammadiyah akan menjadi kalender yang
berbeda sendiri dari kalender ormas-ormas Islam lainnya di Indonesia. Walau
kalender Ummul Quro Saudi Arabia sama masih menggunakan criteria wujudul hilal,
belum tentu itu sama dengan wujudul hilal di Indonesia.
Kalau
ukhuwah yang dikedepankan, "mengalah demi umat" yang dilakukan
Muhammadiyah sangat besar dampaknya. Dengan meninggalkan criteria wuhjudul
hilal yang usang, menuju criteria yang lebih baik, criteria imkan rukyat. Toh, criteria
imkan rukyat pun adalah criteria hisab, namun bisa diterapkan untuk mengkomfirmasi
rukyat. Dengan criteria imkan rukyat, kita pun bisa menghisab kalender sekian
puluh tahun atau sekian ratus tahun ke depan, selama kriterianya tidak diubah. criteria
imkan rukyat juga menghilangkan perdebatan soal perbedaan hisab dan rukyat,
karena kedua metode itu menjadi setara dan saling mengkonfirmasi. Wallahu a'lam.
![]() |
Hasil yah...hilal-nya ?! |