Isu Seputar
Permintaan Maaf Arab Saudi
Dikabarkan bahwa Pemerintah Arab Saudi meminta maaf karena telah salah
dalam menetukan Hari Raya Idul Fitri tanggal 1 Syawal 1432 H. dibeberapa situs
internet, tertulis bahwa Pemerintah Arab Saudi memerintahkan kepada rakyatnya
untuk meng-qadla (mengganti puasa) satu hari, karena telah salah dalam
menentukan 1 Syawal bertepatan hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011. Berita itu
sekaligus meralat dengan menentukan hari Rabu 31 Agustus 2011 sebagai 1 Syawal
1432.
Berita tentang adanya ralat Pemerintah Arab Saudi tentang penetapan Hari
Raya membuat banyak orang terkesima. Berita itu antara ada adan tidak ada.
Banyak orang bingung dibuatnya. Rupanya memang ada yang sengaja ingin memancing
di air keruh agar umat menjadi semakin bingung.
Dalam penelusuran Aula, memang tidak ada satu berita pun yang
menceritakan permohonan maaf dari Pemerinta Arab Saudi. Situs alarabiya.net dan
Televisi Al-Jazirah yang dijadikan rujukn berita tersebut juga tidak ada dapat
dipertanggungjawabkan.
Namun ada satu kabar yang dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan
penentuan Idul Fitri di Arab Saudi. Seorang astronom Arab Saudi Khaled Al-Zaaq
memberikan pernyataan mengejutkan di beberapa media local. Baginya, hasil
rukyat yang dijadikan dasar hukum oleh Pemerintah Arab Saudi layak diragukan
secara ilmiah, ketinggian hilal di Arab Saudi mencapai 0 derajat 44 menit
(kurang dari 1 derajat). Sehingga tidak mungkin ada yang bisa melihat hilal
dalam kondisi yang demikian itu.
Astronom Arab Saudi
Khaled Al-Zaaq
Ia juga menerangkan bahwa kemungkinan yang dilihat pada tanggal 29
Agustus tersebut bukanlah hilal, tapi benda angkasa lain yang kemudian diyakini
sebagai planet Saturnus. Artinya, Khaled bukan meragukan integritas atau
kejujuran saksi yang melihat hilal. Namun Khaled meragukan objek yang dilihat
itu.
Kontan saja, pernyataan itu langsung menjadi bahan perdebatan. Bahkan
Khaled al-Zaaq mendapat kecaman dari para ulama setempat. Mufti Besar Arab
Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah misalnya, menyampaikan kecamannya diatas
mimbar shalat Jum'at ketika menjadi Khatib di Mesjid Imam Turki bin Abdullah di
Riyadh. Baginya, prosedur melihat hilal yang dilakukan senantiasa mengikuti
Sunnah engan ketentuan yang jelas. "ada pena tidak adil dan bahasa busuk
yang meragukan agama kita yang harus dibungkam. Kami secara ketat mengikuti
Sunnah Nabi kita dalam menandai hari puasa dan Idul Fitri," ujarnya
sebagaimana dilansir arabnew.com.
Mufti Besar Saudi Arabia
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
Mufti Besar Saudi Arabia
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
Musykilah Menjelang Hari Raya
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, sudah menjadi tradisi masyarakat
Indonesia untuk meributkan masalah penentuan kapan hari raya akan dilaksanakan.
Ini tidak lepas dari peran dua Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah. Muhammadiyah berpatokan menggunakan hisab
(Wujudul Hilal ; Methode Hisab yang telah usang, pen), sedangkan NU
dengan rukyat (yang ditunjang hisab ; Methode Hisab Imkan Rukyat, pen).
Setiap tahun tidak ada habisnya perdebatan antara kedua kubu ini. Akhirnya
menghasilkan penentuan hari raya yang berbeda.
Beberapa hadits telah menandaskan standar NU ini :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
hadits ini dari Abi Hurairah R.A, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya'ban tiga puluh hari." (HR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
hadits ini dari Abi Hurairah R.A, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya'ban tiga puluh hari." (HR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).
Antara NU dan Muhammadiyah mempunyai penafsiran yang berbeda. NU
berpendapat bahwa kata-kata "melihat" dalam Hadits tersebut adalah
melihat secara langsung. Namun Muhammadiyah berpendapat bahwa kata liru'yatihi
(melihatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata
ra'a, dapat diartikan berpikir. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa
riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra'a, bisa diartikan dengan
memikirkan, atau bisa diartikan bolehnya menetapkan awal bulan dengan hisab.
Memang rukyat itu sangat sulit dan individual. Sangat sulit melihat
bulan dengan alat bantu, apalagi dengan mata telanjang. Karena bulan hanya
muncul beberapa menit saja. Mengapa individual? Dulu dalam tim rukyatul hilal
Jawa Timur, ada yang pernah mengaku, bersumpah telah melihat bulan. Dan
temannya ada juga yang melihatnya juga tapi Cuma sekejap mata.
Di dalam kitab Al-Mughni, Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Sesungguhnya masyarakat itu mengikuti pemerintah. Jika pemerintah berpuasa maka mereka ikut berpuasa dan jika mereka berlebaran maka mereka pun ikut berlebaran.” (Al-Mughni: 6/37).
Lagi pula menurut Ikrimah, Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdillah dari kalangan ulama Tabi’in bahwa tiap-tiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri (tidak mengacu rukyat negeri lain, pen). (Al-Mughni: 6/35, Al-Istidzkar: 3/282). Mereka berdalil pada hadits Kuraib: dalam riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nas'I dan Ahmad : dari Kuraib diceritakan :
Namun, setelah diselidiki ternyata yang
dilihat adalah lampu pelabuhan. Yang memang pada setiap sore memancarkan
sinarnya berkedap-kedip.
Ada
pula cerita, ketika pelatihan rukyatul hilal, ada orang yang berhasil
melihatnya, lalu ia menunjuk kea rah bulan itu dan berkata "itu lho,
itu". Tapi banyak yang masih bengong, mana sih? Dan setelah beberapa saat
baru yang lain melihatnya, "Oo…itu".
Artinya
mereka memang benar-benar melihat bulan.
Di
sisi lain hisabpun bukan tanpa celah. Prhitungan-perhitungan yang dilakukan
cukup banyak versi. Ada yang berpendapat bahwa bulan dapat dilihat pada sudut 7
derajat, ada yang 10 derajat, tapi ada pula yang mengatakan 11, ada yang 11,5,
dll. ada puluhan referensi berbeda dalam menetukan sudutnya. Bahkan ada
beberapa ulama yang masih menggunakan perhitungan astronomi kuno. Dan memang
tidak ada standar baku dalam perhitungan ini.
Beberapa
Ormas besar lainnya seperti Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah dan sebagainya
memiliki pandangan berbeda. Masing-masing Ormas menetapkan 1 Syawal. Setidaknya
untuk konstituen mereka sendiri. Sesuatu yang yang tidak pernah terjadi di
berbagai Negara Islam lainnya. Di sana urusan penetapan seperti itu 100%
diserahkan pemerintah.
Masing-msing Ormas tidak pernah merasa berhak untuk
menentukan sendiri. Dan lucunya bukan hanya ormas yang sering tidak kompak
dengan pemerintah, tetapi di dalam satu Ormas yang sampai menasehati untuk
tidak usah mencampuri masalah ini.
Fatwa Majelis
Ulama Indonesia menyatakan bahwa seluruh umat Islam Indonesia wajib mentaati
ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah.
Jika umat Islam di Negara tersebut berbeda pendapat dalam penentuan Hari Raya,
maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negri tersebut. Tapi itu
pun, Sang Penguasa seorang muslim, karena (dengan mengikuti keputusan itu maka
perbedaan pendapat menjadi selesai.
Namun jika
penguasa bukan muslim, maka diperintahkan mengikuti keputusan majelis atau
departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negri tersebut. Hal ini
semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan puasa
Ramadlan dan shalat Ied di negeri mereka.
Al-Imam Ahmad
bin Hambal berkata: "Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa dan
jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung."
Di dalam kitab Al-Mughni, Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata:
أَنَّ النَّاسَ تَبَعٌ لِلْإِمَامِ، فَإِنْ صَامَ صَامُوا، وَإِنْ أَفْطَرَ
أَفْطَرُوا.
“Sesungguhnya masyarakat itu mengikuti pemerintah. Jika pemerintah berpuasa maka mereka ikut berpuasa dan jika mereka berlebaran maka mereka pun ikut berlebaran.” (Al-Mughni: 6/37).
Khusus untuk
Indonesia, berdasarkan sidang itsbat yang telah diselenggarakan di Kementrian
Agama bahwa mayoritas Ormas dan juga tim dari Kemenag memberikan laporan yang
dapat dipertanggungjawabkan, maka sudah sepatutnya umat Islam Indonesia
mengikuti apa yang telah ditetapkan pemerintah lantaran dilakukan dengan cara
yang demokratis.
KH. A Ghazalie
Masroeri, Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, juga tidak menampik adanya anggapan
bahwa masih ada kecenderungan dari masyarakat yang menilai hari raya menunggu
ikhbar dari Saudi Arabia. Terhadap hal ini, KH. A Ghazalie Masroeri menandaskan
bahwa antara Saudi Arabia dan Indonesia terdapat perbedaan. Dari sisi lokasi,
Saudi ada di bawah Jakarta minus satu derajat. "Dengan demikian, sangat
tidak bisa diterima kalau kemudian apa yang diputuskan di Saudi kemudian secara
otomatis berlaku di Negara kita," katanya.
Lagi pula menurut Ikrimah, Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdillah dari kalangan ulama Tabi’in bahwa tiap-tiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri (tidak mengacu rukyat negeri lain, pen). (Al-Mughni: 6/35, Al-Istidzkar: 3/282). Mereka berdalil pada hadits Kuraib: dalam riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nas'I dan Ahmad : dari Kuraib diceritakan :
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ
بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ
رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ
قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى
رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ
رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ
فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى
نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ
مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: "Bahwa Ummul Fadhl binta Al-Harits telah mengutusnya
(Kuraib) untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata : Aku memasuki Syam, Aku melihat (bulan
sabit) pada malam Jumat. Setelah itu akan aku memasuki kota Madinah pada akhir
Bulan Ramadlan Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal.
Dia bertanya, Kapan kalian melihat hilal ? Aku menjawab : Ya dan orang-orang
juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyah. Dia berkata lagi:
Tapi di Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga
kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari, atau hingga kami melihatnya. Aku
lalu bertanya, Tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan puasa Muawiyah?
Dia menjawab, tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kepada
kami." (HR. Jamaah,
kecuali Bukhari dan Ibnu Majah)
Yang lebih penting adalah, "Rukyatul hilal harus dengan metode yang
dapat dipertanggung jawabkan," lanjut Kiai Ghazalie. Ini penting
agar keputusan yang diambil benar-benar sesuai syar'iah yang dibarengi dengan
kemajuan teknologi serta dapat menjagaintegritas mereka yang berkenan menjadi saksi
dan hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar