Anda setuju dengan Blog ini ? Kalau ya, silahkan Klik !

Sabtu, 05 November 2011

WUJUDUL HILAL TELAH USANG


WUJUDUL HILAL TELAH USANG

Prof Dr Thomas Djamaluddin
 Ilmuan astronomi Indonesia ikut memberikan pemikiran soal perbedaan Idul Fitri kemarin. Uraian dari Profesor riset astronomi-astrofisika di Lembaga Penerbangan danAntariksa Nasional (Lapan) ini patut kita jadikan referensi.

Beberapa tahun terkhir, wajah Prof Dr Thomas Djamaluddin sering menghiasi layar televise kita di saat-saat menjelang hari raya. Anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kemenag RI ini banyak dimintai keterangan soal penentuan awal bulan Hijriah secara ilmiah. Sebagai ilmuan astronomi, apa yang diungkapkan selalu up to date dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentang perbedaan Idul Fitri 1432 H lalu, berikut pendapatnya:

Boleh jadi banyak orang tersinggung dengan ungkapan lugas bahwa criteria hisab wujudul hilal itu using dan jadi pemecah belah umat. Tetapi saya tidak menemukan kata-kata yang lebih halus, tetapi tepat maknananya. Saya pun rela disebut "provokator" demi membangunkan kita semua bahwa "ada kerikil tajam" yang selalu mengganjal penyatuan umat.

Mengapa wujudul hilal disebut usang? Ya, sebagai produk sains, suatu teori bisa saja using karena digantikan oleh teori yang lebih baru, yang lebih canggih, dan lebih bermanfaat. Teori "geosentris" yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sekarang dianggap usang, karena sudah banyak teori yang menjelaskan gerak benda-benda langit, antara lain teoro gravitasi.

Ilmu hisab-rukyat (perhitungan dan pengamatan) dalam lingkup ilmu falak (terkait posisi dan gerak benda-benda langit) adalah ilmu multidisiplin yang digunakan untuk membantu pelaksanaan ibadah. Setidaknya ilmu hisab-rukyat gabungan syariah dan astronomi. Syariah membahas asfek dalilnya yang bersumber dari Al-Qur'an, hadits, dan ijtihad ulama. Astronomi memformulasikan tafsiran dalil tersebut dalam rumusan matematis untuk digunakan dalam prakiraan waktu.

Rasullllah SAW menyebut dirinya "ummi" yang tidak pandai baca dan menghitung. Tetapi sesungguhnya pada zaman Rasul sudah diketahui bahwa rata-rata 1 bulan = 29,5 hari, sehingga ada hadits yang bermakna satu bulan kadang 29 dan kadang 30. Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman empiric pengamatan (rukyat) hilal.

Pada zaman sahabat dikembangkan system kalender dengan hisab (perhitungan astronomi) sederhana yang disebut hisab Urfi (periodik) yang jumlah hari tiap bulan berselang seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil 30 hari dan bulan genap 29 hari. Maka ramadlan mestinya selalu 30 hari, tetapi rukyat tetap dilaksanakan untuk mengoreksinya. Dengan perkembangan ilmu hisab/astronomi, hisab urfi mulai ditinggalkan, kecuali oleh kelompok-kelompok kecil yang tak tersentuh perkembangan ilmu hisab, seperti kelompok Naqsabandiyah di Sumatra Barat dan beberapa kelompok di wilayah lain (termasuk di tengah kota Bandung—walau tak terliput media massa).

Dari hisab 'Urfi berkembang hisab Taqribi (pendekatan dengan asumsi sederhana). Misalnya tinggi bulan hanya dihitung berdasarkan umurnya. Kalau umurnya 8 jam, maka tingginya 8:2 = 4 derajat, karena secara rata-rata bulan menjauh dari matahari 12 derajat per 24 jam. Termasuk kesaksian hilal dulu bukan berdasar pada pengukuran tinggi, tetapi hanya dihitung waktunya sejak cahaya "hilal" (bisa jadi bukan hilal) tampak sampai terbenamnya. Hisab Taqribi pun sudah mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok kecil, antara lain kelompok pengamat di Cakung yang dikenal menggunakan hisab taqribi sebagai pemandu rukyatnya.

Dari hisab Taqribi berkembang hisab hakiki (menghitung posisi bulan sebenarnya) dengan criteria sederhana wujudul hilal (asal bulan positif di atas ufuk). Prinsipnya pun sederhana, cukup menghitung saat bulan dan matahari terbenam. Bila bulan lebih lambat terbenam, maka saat itulah dianggap wujud. Sampai tahap ini hisab dan rukyat sering berbeda keputusannya. Hisab wujudul hilal sering lebih dahulu daripada rukyat, karena memang tidak memperhitungkan factor atmosfer. Masyarakat awam (setidaknya di Cirebon, tempat masa kecil saya tahun 1970-an) sedah maklum menyebut Muhammadiyah sering puasa atau lebaran duluan karena merekalah yang mengamalkan hisab wujudul hilal.


Mengapa kriteria wujul hilal sebagai lompatan pertama hisab hakiki? Dalam sains dikenal penyederhanaan dalam model perhitungan. Untuk menghitung secara hakiki posisi bulan dan matahari bukan perkara mudah pada tahun 1970-an. Ahli hisab harus menghitung secara manual dengan berlembar-lembar kertas dan kadang berhari-hari. Satu problem biasanya dihitung minimal oleh 2 orang. Kalau terjadi perbedaan, kedua orang itu harus saling mengoreksi. Tahun 1980-an kalkulator menjadi alat bantu utama. Kemudian tahun 1990-an computer semakin mempermudah perhitungan.

Lalu berkembang hisab hakiki dengan kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat) yang memadukan hisab dan rukyat, sehingga antara kalender dan hasil hisab diupayakan sama. Itulah konsep penyatuan kalender Islam. Berdasarkan data rukyat di Indonesia sejak tahun 1960-an, ahli hisab di Indonesia pada awal 1990-an memformulasikan kriteria imkan rukyat: (1) ketinggian hilal minimum 2 derajat, (2) jarak bulan –matahari minimum 3 derajat, dan (3) umur hilal minimum 8 jam. Kriteria tersebut kemudian diterima di tingkat regional dalam forum MABIMS (Mentri-mentri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Ormas-ormas Islam dalam kelompok Temu Kerja Badan Hisab Rukyat menyepakati penggunaan kriteria tersebut dalam pembuatan kalender hijriyah di Indonesia, kecuali Muhammadiyah.

Wakil Muhammadiyah beralasan tinggi hilal 2 derajat tidak ilmiah. Mengapa tinggi hilal 2 derajat dianggap tidak ilmiah, tetapi tetap bertahan wujudul hilal yang artinya tinggi hilal minimum 0 derajat? Saya tidak tahu alas an penolakan yang sebenarnya. Memang hisab dengan kriteria imkan rukyat akan lebih rumit daripada hisab wujudul hilal. Factor atmosfer yang menghamburkan cahaya matahari diperhitungkan. Hilal yang sangat rendah dan sangat tipis tidak mungkin mengalahkan cahaya senja di ufuk dan cahaya di sekitar matahari. Itulah sebab perlu ada batas minimum ketinggian bulan dan jarak bulan-matahari.

Kriteria imkan rukyat terus berkembang. IICP (International Islamic Calender Program) di Malaysia berupaya mengembankan kriteria astronomis yang kini dikenal dengan kriteria Ilyas. LAPAN pun berdasarkan data rukyat di Indonesia 1962-1996 mengembangkan revisi kriteria imkan rukyat MABIMS, yang dikenal sebagai kriteria LAPAN (tahun 2000). Odeh dengan ICOP (International Crescent Observation Program) dengan menggunakan data internasional yang lebih banyak mengembangkan kriteria yang kini dikenal kriteria Odeh. Kelompok astronom amatir RHI (Rukyatul HilalIndonesia) yang mengkompilasi data rukyat di Indonesia dan Australia juga menyusun kriteria imkan rukyat RHI. LAPAN (2010) juga mengusulkan baru berdasarkan data rukyat dan internasional yang diberi nama Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.

Kriteria imkan rukyat yang inilah yang dijadikan dasar penyatuan kalender Hijriyah. Dengan kalender berdasarkan hisab imkan rukyat, hasil hisab dalam bentuk kalender diharapkan akan sama dengan hasil hisab. Kalau masih terjadi perbedaan, penyelesainnya dalam forum siding itsbat. Lalu yang berbeda dengan
Criteria tersebut nanti bisa dijadikan dasar untuk merevisi criteria imkan rukyat. Memang begitulah kriteria imkan rukyat. Dinamis dan bisa terus disempurnakan. Kuncinya, criteria tersebut harus disepakati oleh semua pemangku kepentingan, terutama Ormas-ormas Islam, MUI, dan Pemerintah.

Dari kronologis perkembangan pemikiran hisab seperti itu terlihat posisi hisab wujudul hilal sudah usang dan harus diperbaharui. Hisab wujudul hilal pun bisa jadi pemecah belah umat, karena hilal dengan ketinggian yang sangat rendah tidak mungkin teramati. Keputusan pengamal hisab wujdul hilal pasti akan berbeda dengan keputusan pengamal rukyat. Kebanyakan orang akan merasakan ketidaknyamanan. Perdebatan akan selalu muncul, yang tidak mungkin diredam sekedar imbauan "saling menghormati.
Lebih dari sekadar masalah ketidaknyamanan di masyarakat dan kenyataan umat terpecah dalam beribadah massal (Ramadlan dan hari raya), dengan adanya perbedaan itu kita tidak akan pernah punya kalender hijriyah yang tunggal dan mapan. Dengan perbedaan criteria yang diterapkan oleh Ormas-ormas Islam, kalender Hijriyah dikerdilkan hanya menjadi kalender Ormas. Kalender Muhammadiyah akan menjadi kalender yang berbeda sendiri dari kalender ormas-ormas Islam lainnya di Indonesia. Walau kalender Ummul Quro Saudi Arabia sama masih menggunakan criteria wujudul hilal, belum tentu itu sama dengan wujudul hilal di Indonesia.

Kalau ukhuwah yang dikedepankan, "mengalah demi umat" yang dilakukan Muhammadiyah sangat besar dampaknya. Dengan meninggalkan criteria wuhjudul hilal yang usang, menuju criteria yang lebih baik, criteria imkan rukyat. Toh, criteria imkan rukyat pun adalah criteria hisab, namun bisa diterapkan untuk mengkomfirmasi rukyat. Dengan criteria imkan rukyat, kita pun bisa menghisab kalender sekian puluh tahun atau sekian ratus tahun ke depan, selama kriterianya tidak diubah. criteria imkan rukyat juga menghilangkan perdebatan soal perbedaan hisab dan rukyat, karena kedua metode itu menjadi setara dan saling mengkonfirmasi. Wallahu  a'lam.   



Hasil yah...hilal-nya ?!

Jumat, 04 November 2011

HISAB-RUKYAT : BEDAH HARI RAYA IDUL FITRI DI TAHUN 1432 H/2011 M (part 2)


Semua Bermuara Pada Sidang Itsbat

Malam itu Mentri Agama Suryadharma Ali memimpin siding itsbat di Kantor Kemenag. Tidak seperti biasanya siding tahunan itu disiarkan televise secara langsung. Orang pun dapat melihat dengan jelas seberapa hebat kualitas ahli falak Ormas-Ormas Islam. Yang jelas, keputusan NU sesuai dengan penelitian ilmiah dari LAPAN.

Ada beberapa kejadian unik pada siding itsbat hari raya Idul Fitri yang lalu. Di antaranya tentang kengototan utusan dari Muhammadiyah yang mendukung kesaksian di daerah Cakung dan Jepara. Padahal telah diketahui secara umum bahwa Muhammadiyah menetapkan hari raya setahun sebelumnya dengan menggunakan hisab (Wujudul Hilal ; Methode Hisab yang telah usang, mengambil istilah Prof. Dr Thomas Djamaluddin). "Sejak kapan Muhammadiyah mendukung rukyat?" celutuk salah seorang pemirsa televise. "Itu hanya konpirasi dan upaya mencari teman saja," kata KH A Ghazalie Masroeri yang kala itu turut mengikuti sidang.

Kepada Aula, Kiai Ghazalie menceritakan sidang yang berlangsung cukup demokratis tersebut. "Mayoritas sepakat bahwa Idul Fitri jatuh pada tanggal 31 Agustus," kata bapak spesialis ilmu falak ini.

Sesi kedua adalah mendengarkan paparan Ketua Badan Hisab Rukyatul Hilal Kementrian Agama, Ahmad Jauhari, yang melaporkan hasil pemantauan di 96 lokasi, 30 lokasi melaporkan tidak melihat hilal (bulan Baru). Ia memaparkan, ijtima' (pertemuan akhir bulan dan awal bulan baru) menjelang Syawal jatuh pada Senin, 29 Agustus atau 29 Ramadlan sehingga saat matahari terbenam posisi hilal berada diatas ufuk dengan ketinggian 0 derajat 8 menit sampai 1 derajat 53 menit. Dengan demikian bulan Ramadlan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal) dan satu Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011.
Ahmad Jauhari di Sidang Itsbat

Terhadap hal ini, NU menyambut baik. Bahkan PBNU telah menyeber 110 orang ulama' dan ahli astronomi untuk dapat melihat hilal dengan seksama. Mereka tersebar di sekitar 90 titik yang secara geografis memungkinkan untuk melihat hilal dengan lebih sempurna, tanpa halangan bangunan maupun ketinggian yang memadai.

Ketua MUI Pusat, KH. Ma'ruf Amin, mendasarkan pendapatnya pada pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami yang menandaskan bahwa bila ahli hisab secara mayoritas dan mutawatir menyatakan hilal tidak tampak, dan pada saat yan bersamaan ada yang mengaku melihat hilal, maka kesaksiannya ditolak. Hal ini menanggapi laporan dari Tim Rukyat di daerah Cakung dan Jepara yang mengaku telah melihat hilal.
KH. Ma'ruf Amin

Terhadap kesaksian dari Cakung ini Kiai Ghazalie memberikan beberapa catatan. "Saya telah meniliti Cakung hampir sepuluh tahun, dan tempat ini tidak layak dijadikan untuk rukyatul hilal lantaran posisinya berada 20 meter di bawah permukaan laut," katanya saat dihubungi Aula. Yang juga tidak kalah memprihatinkan, lokasi rukyah yang ternyata berada di lantai tiga Ponpes Al-Husainiah, Cakung, Jakaarta Timur. "Padahal di sekelilingnya sudah ada beberapa bangunan yang lebih tinggi, sehingga dapat dipastikan pandangannya tidak leluasa." Sambungnya.

Di samping itu, alat yang digunakan untuk rukyat sudah tidak representative lagi, yakni berupa anak panah. Perukyatnya sendiri orang itu-itu saja tak pernah ada pergantian. "dan yang membuat kami sangsi adalah terdapat inkonsistensi antara pengakuan para perukyat, " sergahnya. "Saksi pertama mengaku melihat hilal pukul 17.40 WIB, sedangkan saksi kedua mengaku telah melihat hilal pada jam 17.59 WIB," lanjutnya.
Sedangkan yang menyumpah para saksi bukan berprofesi hakim, karena hakim yang ada tidak berkenan menerima sumpah dua saksi tersebut. "Secara fiqih siyasah kan tidak bisa menentukan hakim dari Ormas?"

Hal serupa juga terjadi di Jepara. Dari Tim PBNU yang diturunkan ke daerah tersebut, mengatakan bahwa tidak melihat hilal. Semua sudah dikumpulkan oleh hakim dan menyatakan bahwa bulan tidak ada lantaran tertutup awan. Secara tiba-tiba, ada dosen STAIN Jepara yang bernama Saiful Mujab, MSi menyatakan kalau dirinya melihat hilal selama sepuluh detik tapi terputus-putus. "Ini kan pengakuan yang aneh dan tidak mungkin," ujar Kiai Ghazalie. Dan yang lebih celaka adalah ada hakim yang ternyata bersedia menerima kesaksiannya.

Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Prof Dr Thomas Djamaluddin, ketika diberi kesempatan member komentar cukup pedas, khususnya kepada Muhammadiyah, dengan tegas dia menandaskan bahwa metode hisab yang dilakukan organisasi yang mengaku paling modern ini telanh usang. Sedangkan dalil ayat di Surat Yasin yang dijadikan sebagai pegangan dalam melihat wujudul hilal ternyata salah. "Ayat itu tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi ini, " katanya.
Ada perkembangan menarik dari Ormas ini (PERSIS, pen) yang biasanya sependapat dengan Muhammdiyah, malah sekarang mulai berpisah. "Praktis, hanya Muhammadiyah saja yang kukuh dengan pendapat dan pendiriannya untuk ber hari raya selasa (29/8)," kata Kiai Ghazalie prihatin. "Padahal, mayoritas Ormas dan didukung pemerintah lebih memilih hari raya Rabu, tentunya dengan pendekatan yang lebih baik, professional dan dapat dipertanggungjawabkan," kata Kiai Ghazalie.
Prof Dr Thomas Djamaluddin
اللهم أهله علينا بالأمن والإيمان والسلامة والإسلام والسكينة والعافية والرزق الحسن والتوفيق لما تحب وترضى ، ربُّنا وربك الله

Rabu, 02 November 2011

HISAB-RUKYAT : BEDAH HARI RAYA IDUL FITRI DI TAHUN 1432 H/2011 M (part 1)


Isu Seputar Permintaan Maaf Arab Saudi

Dikabarkan bahwa Pemerintah Arab Saudi meminta maaf karena telah salah dalam menetukan Hari Raya Idul Fitri tanggal 1 Syawal 1432 H. dibeberapa situs internet, tertulis bahwa Pemerintah Arab Saudi memerintahkan kepada rakyatnya untuk meng-qadla (mengganti puasa) satu hari, karena telah salah dalam menentukan 1 Syawal bertepatan hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011. Berita itu sekaligus meralat dengan menentukan hari Rabu 31 Agustus 2011 sebagai 1 Syawal 1432.

Berita tentang adanya ralat Pemerintah Arab Saudi tentang penetapan Hari Raya membuat banyak orang terkesima. Berita itu antara ada adan tidak ada. Banyak orang bingung dibuatnya. Rupanya memang ada yang sengaja ingin memancing di air keruh agar umat menjadi semakin bingung.

Dalam penelusuran Aula, memang tidak ada satu berita pun yang menceritakan permohonan maaf dari Pemerinta Arab Saudi. Situs alarabiya.net dan Televisi Al-Jazirah yang dijadikan rujukn berita tersebut juga tidak ada dapat dipertanggungjawabkan.

Namun ada satu kabar yang dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan penentuan Idul Fitri di Arab Saudi. Seorang astronom Arab Saudi Khaled Al-Zaaq memberikan pernyataan mengejutkan di beberapa media local. Baginya, hasil rukyat yang dijadikan dasar hukum oleh Pemerintah Arab Saudi layak diragukan secara ilmiah, ketinggian hilal di Arab Saudi mencapai 0 derajat 44 menit (kurang dari 1 derajat). Sehingga tidak mungkin ada yang bisa melihat hilal dalam kondisi yang demikian itu.





Astronom Arab Saudi
Khaled Al-Zaaq




Ia juga menerangkan bahwa kemungkinan yang dilihat pada tanggal 29 Agustus tersebut bukanlah hilal, tapi benda angkasa lain yang kemudian diyakini sebagai planet Saturnus. Artinya, Khaled bukan meragukan integritas atau kejujuran saksi yang melihat hilal. Namun Khaled meragukan objek yang dilihat itu.

Kontan saja, pernyataan itu langsung menjadi bahan perdebatan. Bahkan Khaled al-Zaaq mendapat kecaman dari para ulama setempat. Mufti Besar Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah misalnya, menyampaikan kecamannya diatas mimbar shalat Jum'at ketika menjadi Khatib di Mesjid Imam Turki bin Abdullah di Riyadh. Baginya, prosedur melihat hilal yang dilakukan senantiasa mengikuti Sunnah engan ketentuan yang jelas. "ada pena tidak adil dan bahasa busuk yang meragukan agama kita yang harus dibungkam. Kami secara ketat mengikuti Sunnah Nabi kita dalam menandai hari puasa dan Idul Fitri," ujarnya sebagaimana dilansir arabnew.com.





Mufti Besar Saudi Arabia
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah




Musykilah Menjelang Hari Raya

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia untuk meributkan masalah penentuan kapan hari raya akan dilaksanakan. Ini tidak lepas dari peran dua Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Muhammadiyah berpatokan menggunakan hisab (Wujudul Hilal ; Methode Hisab yang telah usang, pen), sedangkan NU dengan rukyat (yang ditunjang hisab ; Methode Hisab Imkan Rukyat, pen). Setiap tahun tidak ada habisnya perdebatan antara kedua kubu ini. Akhirnya menghasilkan penentuan hari raya yang berbeda.

Beberapa hadits telah menandaskan standar NU ini :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
hadits ini dari Abi Hurairah R.A, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya'ban tiga puluh hari." (HR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).

Antara NU dan Muhammadiyah mempunyai penafsiran yang berbeda. NU berpendapat bahwa kata-kata "melihat" dalam Hadits tersebut adalah melihat secara langsung. Namun Muhammadiyah berpendapat bahwa kata liru'yatihi (melihatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata ra'a, dapat diartikan berpikir. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra'a, bisa diartikan dengan memikirkan, atau bisa diartikan bolehnya menetapkan awal bulan dengan hisab.
Memang rukyat itu sangat sulit dan individual. Sangat sulit melihat bulan dengan alat bantu, apalagi dengan mata telanjang. Karena bulan hanya muncul beberapa menit saja. Mengapa individual? Dulu dalam tim rukyatul hilal Jawa Timur, ada yang pernah mengaku, bersumpah telah melihat bulan. Dan temannya ada juga yang melihatnya juga tapi Cuma sekejap mata.
 Namun, setelah diselidiki ternyata yang dilihat adalah lampu pelabuhan. Yang memang pada setiap sore memancarkan sinarnya berkedap-kedip.

Ada pula cerita, ketika pelatihan rukyatul hilal, ada orang yang berhasil melihatnya, lalu ia menunjuk kea rah bulan itu dan berkata "itu lho, itu". Tapi banyak yang masih bengong, mana sih? Dan setelah beberapa saat baru yang lain melihatnya, "Oo…itu".
Artinya mereka memang benar-benar melihat bulan.

Di sisi lain hisabpun bukan tanpa celah. Prhitungan-perhitungan yang dilakukan cukup banyak versi. Ada yang berpendapat bahwa bulan dapat dilihat pada sudut 7 derajat, ada yang 10 derajat, tapi ada pula yang mengatakan 11, ada yang 11,5, dll. ada puluhan referensi berbeda dalam menetukan sudutnya. Bahkan ada beberapa ulama yang masih menggunakan perhitungan astronomi kuno. Dan memang tidak ada standar baku dalam perhitungan ini.
Beberapa Ormas besar lainnya seperti Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah dan sebagainya memiliki pandangan berbeda. Masing-masing Ormas menetapkan 1 Syawal. Setidaknya untuk konstituen mereka sendiri. Sesuatu yang yang tidak pernah terjadi di berbagai Negara Islam lainnya. Di sana urusan penetapan seperti itu 100% diserahkan pemerintah. 

Masing-msing Ormas tidak pernah merasa berhak untuk menentukan sendiri. Dan lucunya bukan hanya ormas yang sering tidak kompak dengan pemerintah, tetapi di dalam satu Ormas yang sampai menasehati untuk tidak usah mencampuri masalah ini.


Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa seluruh umat Islam Indonesia wajib mentaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah. Jika umat Islam di Negara tersebut berbeda pendapat dalam penentuan Hari Raya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negri tersebut. Tapi itu pun, Sang Penguasa seorang muslim, karena (dengan mengikuti keputusan itu maka perbedaan pendapat menjadi selesai.

Namun jika penguasa bukan muslim, maka diperintahkan mengikuti keputusan majelis atau departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan puasa Ramadlan dan shalat Ied di negeri mereka.
Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung."

Di dalam kitab Al-Mughni, Al-Imam Ahmad bin Hambal berkata:

أَنَّ النَّاسَ تَبَعٌ لِلْإِمَامِ، فَإِنْ صَامَ صَامُوا، وَإِنْ أَفْطَرَ أَفْطَرُوا.

“Sesungguhnya masyarakat itu mengikuti pemerintah. Jika pemerintah berpuasa maka mereka ikut berpuasa dan jika mereka berlebaran maka mereka pun ikut berlebaran.” (Al-Mughni: 6/37).

Khusus untuk Indonesia, berdasarkan sidang itsbat yang telah diselenggarakan di Kementrian Agama bahwa mayoritas Ormas dan juga tim dari Kemenag memberikan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka sudah sepatutnya umat Islam Indonesia mengikuti apa yang telah ditetapkan pemerintah lantaran dilakukan dengan cara yang demokratis.


KH. A Ghazalie Masroeri, Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, juga tidak menampik adanya anggapan bahwa masih ada kecenderungan dari masyarakat yang menilai hari raya menunggu ikhbar dari Saudi Arabia. Terhadap hal ini, KH. A Ghazalie Masroeri menandaskan bahwa antara Saudi Arabia dan Indonesia terdapat perbedaan. Dari sisi lokasi, Saudi ada di bawah Jakarta minus satu derajat. "Dengan demikian, sangat tidak bisa diterima kalau kemudian apa yang diputuskan di Saudi kemudian secara otomatis berlaku di Negara kita," katanya.

Lagi pula menurut  Ikrimah, Qasim bin Muhammad dan  Salim bin Abdillah dari kalangan ulama Tabi’in bahwa tiap-tiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri (tidak mengacu rukyat negeri lain, pen). (Al-Mughni: 6/35, Al-Istidzkar: 3/282).  Mereka berdalil pada hadits Kuraib: dalam riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nas'I dan Ahmad : dari Kuraib diceritakan :

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

: "Bahwa Ummul Fadhl binta Al-Harits telah mengutusnya (Kuraib) untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata : Aku memasuki Syam, Aku melihat (bulan sabit) pada malam Jumat. Setelah itu akan aku memasuki kota Madinah pada akhir Bulan Ramadlan Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, Kapan kalian melihat hilal ? Aku menjawab : Ya dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyah. Dia berkata lagi: Tapi di Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari, atau hingga kami melihatnya. Aku lalu bertanya, Tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan puasa Muawiyah? Dia menjawab, tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami." (HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah)

Yang lebih penting adalah, "Rukyatul hilal harus dengan metode yang dapat dipertanggung jawabkan," lanjut Kiai Ghazalie. Ini penting agar keputusan yang diambil benar-benar sesuai syar'iah yang dibarengi dengan kemajuan teknologi serta dapat menjagaintegritas mereka yang berkenan menjadi saksi dan hakim.